Resensi Buku: Kabut Negeri si Dali oleh A.A. Navis

By Zeezee - Juli 12, 2023


Judul: Kabut Negeri si Dali

Penulis: A.A. Navis

Penerbit: Grasindo

Tebal: 150 hal.

Harga:  Rp55.000

Terbit: 2018


Kumpulan cerita pendek (cerpen) kedua yang diresensi di blog ini masih dari buku A.A. Navis. Kali ini berjudul Kabut Negeri si Dali. Ditulis dari rentang waktu 1990 hingga 1999. Jika Jodoh bicara seputar kisah percintaan dan lika-likunya, buku ini berlatar belakang dunia militer dan sejarah Indonesia.

Lebih tepatnya, kisah orang-orang Indonesia, khususnya mereka yang ikut menjadi tentara, pada masa pendudukan Jepang ke perang kemerdekaan dan perang Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) ke kekuasaan militerisme Orde Baru.

Namun, jangan bayangkan kisah heroik tentang pahlawan Indonesia yang penuh haru dan kebanggaan, kumpulan cerita dalam buku ini seperti membongkar aib dan menunjukkan wajah asli mereka.

Dalam kata pengantarnya A.A. Navis juga menulis bahwa dia merasa mual kepada mereka yang bergabung menjadi anggota militer. Katanya, “... mereka bukanlah pejuang yang cinta bangsa dan Tanah Air, melainkan cinta kemegahan dan kekuasaan.” 

Lebih tajam, A.A. Navis menulis, “... kemerdekaan yang kita perjuangkan bukanlah demi bangsa dan Tanah Air, melainkan demi menggantikan posisi kaum penjajah.”

Jadi, jangan heran jika buku ini memperlihatkan sisi yang mungkin jarang kita dengar. Keseluruhan buku ini terasa benar menyindir orang-orang dan menyentil berbagai peristiwa di Indonesia pada masa itu. 

Beberapa cerita memiliki karakter yang menyebalkan. Namun, karena barangkali niatnya untuk menyindir, karakter tersebut dibuat demikian untuk menunjukkan kebusukan mereka yang selama ini tidak diketahui.

Yang menarik, selalu ada karakter bernama Dali dalam setiap cerita, entah itu sebagai pelaku utama atau sampingan. Nama Dali sendiri berasal dari nama panggilan penulis oleh adik-adiknya, yakni Uda Ali. Sebagai info, nama lengkap A.A. Navis adalah Ali Akbar Navis. A.A. Navis menulis dalam kata pengantar, “Bolehlah dikiaskan, itulah saya yang hidup dalam aneka ragam penguasa dengan jenis kekuasaan yang hampir tidak ada bedanya.”

Satu hal yang cukup kentara ialah ada terlalu banyak salah ketik dalam buku ini. Aku sering sekali menemukannya ketika membaca. Tidak terlalu fatal memang, tapi tidak mungkin tidak menyadari adanya penulisan yang salah. Yang paling jelas, judul cerita ke tujuh, “Perempuan itu Bernama Lara”, tapi ditulis “Perempuan itu Bernama Lari”.

Total ada 15 cerita pendek dalam buku ini. Dari semua, ada satu cerita yang membuatku merasa sedih membayangkan situasi Indonesia dalam penjajahan dulu, yakni “Marah yang Marasai”. Orang terpandang pada masanya, hatinya marah pada penjajah, dan akhirnya dia ditangkap dan mengalami penyiksaan.

Tidak terbayang kesusahan orang-orang dulu. Kejadian seperti ini pasti banyak terjadi pada masa itu. Hati sudah tidak sanggup lagi melihat penjajahan, tapi kekuasaan diri terbatas. Pada akhirnya, yang berkuasalah yang menang.

Mengenai isu yang diangkat dalam cerita pendek ini juga pasti mudah untuk dikenali. Isu besar yang menjadi bagian sejarah Indonesia, yang akan membuat kamu semakin terenyuh.

Terlepas dari salah ketik yang ditemukan dan karakter yang menyebalkan, gaya bahasa A.A. Navis dan cara penyampaiannya masih mudah diikuti. Ringan dan lugas. Karena buku ini tipis juga, kamu bisa menyelesaikannya dengan cepat.

Dari semua buku A.A. Navis yang sebelumnya kubeli bersama, ini buku terakhir dari koleksiku. Bisa membaca karya klasik dari penulis ternama Indonesia adalah sebuah kesempatan yang luar biasa. Semoga ada lebih banyak karya sastra klasik Indonesia yang diterbitkan lagi dan diperkenalkan pada generasi muda Indonesia.

Selamat membaca dan sampai jumpa di buku berikutnya! (Z)


Buku lain A.A. Navis:

Jodoh

Kemarau


foto: gramedia

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar