Kicauan: Pembahasan Puisi Secangkir Kopi oleh Sapardi Djoko Damono

By Zeezee - April 08, 2022



Secangkir Kopi

oleh Sapardi Djoko Damono


    Secangkir kopi yang dengan tenang menunggu kauminum itu tidak pernah mengusut kenapa kau bisa membedakan aromanya dari asap yang setiap hari kauhirup ketika berangkat dan pulang kerja di kota yang semakin tidak bisa mengerti kenapa mesti ada secangkir kopi yang tersedia di atas meja setiap pagi.



Saat membaca puisi ini aku langsung tersenyum, teringat teman-teman kerja yang juga setiap hari minum kopi. Setidaknya sekali selama jam kerja mereka akan jajan kopi, apa pun mereknya. Seperti sebuah keharusan, seperti sebuah rutinitas.


Aku rasa puisi di atas menggambarkan dengan sangat jelas gaya hidup masa kini yang tidak bisa tidak minum kopi. Kedai kopi menjamur, berbagai nama, berbagai rasa. Tidak akan susah mencari, tinggal pilih.


Puisi ini tidak terlalu panjang, bahkan bisa dibilang singkat. Meski begitu, puisi ini memiliki kata-kata yang cukup untuk menampung ide yang utuh tentang secangkir kopi. Kopi dalam gelas (entah itu gelas plastik atau cangkir keramik) digambarkan layaknya manusia yang bisa menunggu. Kopi hanya diam dan tidak rusuh memikirkan bagaimana manusia yang meminumnya bisa membedakan dirinya. Layaknya manusia, kopi pun memiliki ciri khasnya tersendiri–aromanya.


Puisi berlanjut tanpa jeda, kopi yang selalu ada saat pagi dan petang membuat kota tempat manusia tinggal pun heran, “ ... di kota yang semakin tidak bisa mengerti …. “ Kota pun digambarkan seperti manusia yang memiliki rasa dan bisa merasa kebingungan. Kenapa harus ada kopi? Barangkali inilah pertanyaan kota yang ingin ditanyakan pada manusia jika ia bisa berkata.


Kenapa kopi menjadi sebuah kewajiban? Kota tidak pernah mengerti, seperti halnya manusia lain yang tidak gemar meminum kopi. Sementara kopi, ia hanya menunggu diseduh, dituang dalam cangkir, dan menunggu giliran untuk diminum.


Seperti kata larik di atas, “Secangkir kopi yang dengan tenang menunggu” dan ia “tidak pernah mengusut kenapa kau bisa membedakan aromanya.”


Bagiku, keseluruhan kesan pada puisi terasa jenaka karena menyentil gaya hidup masyarakat zaman sekarang. Puisi disampaikan melalui sudut pandang secangkir kopi dan kota, bukannya manusia lain. Oleh sebab itu, sindiran yang diberikan terasa sangat halus dan karenanya pula kita bisa tersenyum saat membacanya.


Sebuah kebiasaan yang sehari-hari kita temui, tetapi terasa berbeda saat membacanya dalam sebuah puisi. Aku selalu merasa takjub karenanya. Itulah kekuatan dan keindahan kata-kata yang dirangkai dengan saksama dan penuh ketelitian.


Puisi ini ada dalam buku Kolam dan salah satu yang paling aku ingat. Barangkali karena isi puisi ini terasa sangat akrab dengan kehidupan sehari-hariku. Aku bukan peminum kopi dan tidak pula merasa butuh untuk meminumnya dalam keadaan apa pun. Jadi, aku bisa memahami kenapa “kota” tidak mengerti dan juga aku pun bertanya (atau mungkin kagum), bagaimana seseorang bisa tahu banyak tentang kopi. Kopi dan peminumnya pasti memiliki ikatan yang erat.


Cukup tentang kopi. Semoga puisi ini juga bisa membuat kamu tersenyum saat membacanya. Kamu bisa membaca puisi lainnya di buku Kolam. Masih banyak puisi bagus dalam buku itu, kamu tidak akan kecewa.


Terima kasih sudah berpuisi bersama hari ini. Walau hanya pembahasan singkat, semoga aku tidak menyalahi makna yang sebenarnya dimaksudkan oleh penyair. Semoga kalian menyukainya. Sampai jumpa di puisi berikutnya! (Z)



Photo by Kevin Bhagat on Unsplash



  • Share:

You Might Also Like

0 komentar