Judul: Paper
Towns
Penulis: John Green
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 360 hlm.
Harga: Rp64.000
Terbit: Agustus 2015
Penulis: John Green
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 360 hlm.
Harga: Rp64.000
Terbit: Agustus 2015
Margo Roth
Spiegelman bukan karakter remaja putri biasa. Dia bebas, misterius, dengan
pemikiran yang juga mengagumkan. Setidaknya, kekaguman seperti itulah yang dirasakan
oleh Quentin Jacobsen. Q, panggilan Quentin memang mengagumi tetangganya itu
dan menyukainya sejak lama.
Mereka berteman
sejak kecil, tapi ajaibnya mereka tidak tumbuh sedekat itu saat beranjak
dewasa. Namun, mereka masih bisa dibilang berteman karena suatu malam, setelah
sembilan tahun, Margo kembali mendatangi Q, tepatnya mengunjungi melalui
jendela kamarnya. Margo digambarkan dengan sangat unik, dia mencoba berbagai
hal yang mungkin tak umum bagi kebanyakan remaja dan pemikirannya pun tidak
berada di level yang sama dengan teman-temannya.
Kejadian malam itu
menjadi penanda penting karena setelahnya Margo kembali menghilang (Margo
pernah beberapa kali pergi dari rumah). Kepergiannya kali ini tampaknya untuk
waktu yang lama atau bahkan untuk selamanya. Yang menarik, Margo meninggalkan
beberapa pesan tersembunyi untuk Q—atau begitulah yang Q pikirkan. Dari sanalah
pencarian Margo dimulai.
Pencarian tersebut
sendiri merupakan sebuah penemuan yang luar biasa bagi Q. Selama ini, Q hanya
bisa memandangi jendela kamar Margo dan tak pernah tahu isinya. Namun, dalam
pencarian ini, Q melihat dan masuk ke dalam, melihat dan menemukan bahwa dunia
Margo begitu jauh dari bayangannya. Semakin jauh, semakin dia sadar, dia tak
mengenal Margo.
Dari segi plot, sepertinya memang itulah tujuan
pencarian Margo, agar Q memahami siapa Margo sebenarnya dan mengenal dirinya
sendiri lebih baik. Q memiliki bayangan yang begitu hebat mengenai gadis
tersebut di kepalanya dan barangkali dia berpikir begitulah Margo.
Karakter Q bisa dibilang bukan karakter favoritku, tapi mungkin karakter seperti dia normal bagi
remaja laki-laki di Amerika. Rasa suka dan pertemanannya membawa dia pada sebuah pencarian
panjang. Sebelumnya, Q mungkin
tidak pernah mendekati Margo karena mereka menjauh saat beranjak besar, tapi dengan pencarian ini setidaknya memberi Q jawaban terhadap Margo dan
perasaannya.
Cerita buku ini
menggunakan banyak metafora dan karenanya membuat buku ini semakin menarik.
Seperti bagaimana Margo menyebut daerah tinggalnya sebagai kota kertas, rumah-rumah kertas,
dan manusia-manusia kertas. Selain itu, buku ini juga memiliki banyak pesan
yang mendalam melalui dialog-dialog karakternya.
Margo sendiri
menurutku karakter yang rumit. Dia memiliki pemikiran dan kebiasaan yang tak
umum, dia tidak berpikir bahwa hidup normal—sekolah, bekerja, menikah, dan
menjadi tua—merupakan hal yang penting. Dia tidak mau peduli dengan pandangan
orang lain, tetapi nyatanya dia peduli dan itu membuatnya merasa takut. Kerumitan
Margo menurutku juga karena keluarganya. Awalnya barangkali orang tuanya yang menuntut
dia untuk menjadi sosok gadis sempurna dan dia menyukainya—tampil dengan
pakaian bagus, terkenal, dan memiliki banyak teman—sebelum dia menyadari betapa
palsu semua itu, bahwa kehidupannya tidak sesempurna yang orang lain kira. Yang
aku bingung, dia jelas pergi untuk hidup sebagai dirinya sendiri dan bukannya seperti yang
orang harapkan, tetapi apakah dia memilih hidup seperti itu—dengan
berpindah-pindah sebagai dirinya? Jika iya, dia mungkin memang
berbeda dari kebanyakan orang.
Buku ini ditulis
dengan sudut pandang Quentin dan sepanjang pencarian bisa dibilang kita hanya
akan mendengar Margo tanpa sepenuhnya melihat atau mengetahuinya. Karena itu, sulit
mendapatkan gambaran utuh mengenai Margo. Kita sama butanya seperi Quentin.
Sejujurnya, ini
buku pertama John Green yang kubaca
(The Fault in Our Stars sampai
sekarang belum juga dibaca hhe) dan aku menyelesaikannya
dengan cukup cepat. Margo merupakan karakter yang unik dan aku menyukainya. Barangkali
karakter Margo merupakan salah satu hal favoritku dalam buku ini. Selain itu,
dibandingkan dengan pencarian Margo, pesan dalam dialog terasa jauh lebih berkesan
dan tentunya yang menjadikan buku ini lebih berbobot. Untuk akhir cerita, aku
merasa pilihan Q dan Margo terasa sangat dewasa, mereka menyadari perbedaannya dan tidak memaksakan diri. (Z)
Foto: gramedia
0 komentar