Jejak Cincin PertunanganOleh Zelfeni Wimrajejak pertemuan kita melekat pada kerut sebuah bibir tuadi celahnya, gusi tumpul sudah lama tak bergigijuga lidah yang telah menggetarkan tak berhingga kata-kataselebihnya menyisa pada jari manis sebelah kirisebagai siapa kau datang pada hari raya kali ini?sebagai pelukan badut ulang tahunsebagai ciuman nenek di dahi?atau sebagai bujang latah yang datang menawarkan perundingan;pergunjingan tentang jejak cincin pertunangan di sela jari2012
Puisi di atas
merupakan salah satu karya Zelfeni Wimra yang diterbitkan di Koran Tempo Minggu
(14 Oktober 2012) bersama tiga puisi lainnya. Kenapa saya ingin membahas puisi
ini? Sejak membaca buku Bilang Begini,Maksudnya Begitu karya Sapardi Djoko Damono, saya tertarik untuk membaca ulang
puisi-puisi yang pernah saya baca dengan maksud memahami isinya lebih baik.
Dalam buku
tersebut, Sapardi Djoko Damono membahas banyak puisi beserta maknanya untuk
menjelaskan topik atau tema pembicaraan. Membaca penjelasan tersebut seolah
membedah isi puisi dan saya ingin coba terapkan pada puisi lain yang saya baca.
Lalu, mengapa puisi ini? Tidak alasan tertentu, selain saya menyukainya dan dapat memahami puisi
ini (kurang lebih).
Beberapa puisi lain
yang juga saya baca di koran membuat saya gagal paham (hha) atau hanya bisa dipahami
sebagian. Namun, bukan berarti pula bahwa pemahaman dan pemikiran saya untuk
puisi ini seratus persen benar. Puisi selalu memiliki ruang gelap-terang dan sebagai
pembaca saya hanya bisa merabanya. Terlebih, dengan pengetahuan saya yang
sedikit, kemampuan untuk memahami puisi pun menjadi tidak sempurna. Apa yang saya
maknai juga tentunya dapat berbeda bila orang lain yang lebih ahli
mengartikannya.
Namun, saya rasa
tidak ada salahnya menuliskan apa yang dipahami karena ini merupakan salah satu
bentuk apresiasi. Selain itu, cara ini juga membantu saya untuk dapat mengerti
lebih baik isi dalam sebuah puisi. Saya juga berharap dapat bertukar pikiran
dengan siapa pun yang membaca tulisan ini sehingga menambah wawasan serta
pengetahuan yang sebelumnya sudah dimiliki.
Puisi ini tidak
terlalu sulit untuk dipahami, ya ‘kan? Terlebih dengan judulnya, pembaca tentu
bisa menghubungkan maksud yang ada dalam puisi. Namun, saat aku membaca buku Bilang Begini, Maksudnya Begitu, aku
menyadari bahwa puisi yang sederhana pun bisa jadi tidak sesederhana yang
dikira. Selain itu, dengan sedikit lebih “bertanya”, pembaca juga akan
menyadari sebuah puisi bisa begitu indah.
Sebuah jejak
merupakan sebuah bekas. Judul puisi ini, “Jejak Cincin Pertunangan” menunjukkan
adanya sebuah hubungan dan apa yang ditinggalkannya. Penulis menyebutkannya
dilarik pertama, “jejak pertemuan kita
melekat pada kerut sebuah bibir tua... / juga lidah yang telah menggetarkan tak
berhingga kata-kata / selebihnya menyisa pada jari manis sebelah kiri”.
Dengan kata lain, jejak hubungan tersebut dapat dilihat pada “kerut bibir tua”,
“lidah yang menggetarkan tak berhingga kata”, dan “jari manis sebelah kiri”.
Puisi ini menyebut
“kita” dan “kau” dalam baitnya. “Kita” bermakna aku dan kamu sehingga menyiratkan
“aku” sebagai pengisah dalam puisi meski kata tersebut tidak di tulis. Dalam
bait kedua juga disebut “bujang latah” sehingga “aku” dapat dimaknai sebagai seorang
perempuan (“sebagai siapa kau datang pada
hari raya kali ini?... / atau sebagai bujang latah yang datang menawarkan
perundingan;”). Larik “jejak
pertemuan kita melekat pada kerut sebuah bibir tua”, barangkali pula
menunjukan usia “aku” atau mungkin keduanya yang sudah tidak lagi muda.
Usia yang telah
menua ini dipertegas pada larik berikutnya “di
celahnya, gusi tumpul sudah lama tak bergigi”. Lalu larik, “juga lidah yang telah menggetarkan tak
berhingga kata-kata” yang juga mengindikasikan bahwa “aku” lirik sudah
hidup cukup lama. Lalu, jejak hubungan tersebut tersisa pada jari manis sebelah
kiri, seperti yang ditulis dalam larik terakhir pada bait pertama, “selebihnya menyisa pada jari manis sebelah
kiri”.
Jari manis sudah
umum diketahui sebagai jari tempat memasangkan cincin dalam sebuah hubungan,
seperti pernikahan atau pertunangan dalam masyarakat kita. Cincin itu tentunya juga
tanda suatu ikatan antara dua orang. Kata-kata “selebihnya menyisa pada jari manis sebelah kiri” merupakan sebuah simbol
dari cincin dan ikatan (pertunangan) yang pernah ada. Cincin tersebut
barangkali sudah tidak lagi digunakan, tetapi “jejaknya” masih dapat dirasakan
oleh si punya tangan dan menjadi penanda sebuah kenangan.
Saya berpikir, jika
“aku” dan “kau” telah menua, hubungan tersebut bisa jadi telah lama terjadi
sehingga perasaaan sakit pun telah lama dilewati. Meski begitu, ada nada sinis
atau tak suka pada kehadiran kembali “kau” yang ditunjukan di bait kedua, “sebagai siapa kau datang pada hari raya kali
ini?” Apa penyebab “aku” tidak menyukainya? Ketidaksukaan tersebut akhirnya
juga mengarahkan kita pada pertanyaan mengapa hubungan tersebut berakhir?
Apakah hubungan tersebut berakhir dengan kesepakatan bersama atau “kau”-lah
yang membatalkan pertunangan tersebut dan meninggalkan “aku”? Tentu, ada banyak
kemungkinan.
Selain itu, kenapa
“kau” datang pada hari raya? Pada hari raya bukankah keluarga, teman, dan
berbagai kenalan saling mengunjungi untuk sekadar bersilaturahmi? Namun, “aku”
memaknai kedatangan tersebut secara berbeda, selain terdapat nada menyindir,
“aku” juga mempertanyakan kedatangannya. Seperti yang ditunjukkan dalam
larik-larik selanjutnya.
Larik kedua dan
ketiga, “sebagai pelukan badut ulang
tahun / sebagai ciuman nenek di dahi?” Sebagai pelukan badut ulang tahun
terasa seperti mengejek “kau”, untuk apa badut ada di sebuah acara ulang tahun?
Untuk memeriahkan acara? Untuk memberi selamat? Untuk menghibur? Atau hanya sebagai
penggembira? Bisa jadi semuanya. Sementara larik selanjutnya membuat saya bertanya-tanya,
apa arti ciuman seorang nenek? Sebagai bentuk kasih sayang antara keluarga?
Dalam larik
berikutnya terlihat kemungkinan lain, “atau
sebagai bujang latah yang datang menawarkan perundingan; / pergunjingan tentang jejak cincin
pertunangan di sela jari”. Menurut saya, ada banyak makna dan rasa dalam larik
ini, selain terasa meremehkan dan menyindir, larik tersebut juga menegaskan kandasnya
hubungan yang pernah ada. Namun, jika anggapan saya bahwa “aku” dan “kau” telah
menjadi tua dan hubungan tersebut lama berakhir, mengapa baru sekarang “kau”
datang kembali? Kedatangan kembali dan keterlambatan “kau” tersebut dapat
semakin menguatkan nada sindiran dalam larik ini.
Pilihan kata
seperti “bujang latah” juga menambahkan nada sindiran dalam larik tersebut. Latah
bermakna meniru perbuatan orang lain atau mengikuti tingkah laku seseorang.
Jadi, barangkali telah banyak orang yang datang untuk menawarkan sebuah ikatan kepada “aku” dan karenanya
“kau” hanya terkesan sekadar ikut-ikutan.
Apakah “kau” ingin
memulai kembali atau memperbaiki hubungan lama tersebut tidak dijelaskan, tetapi
barangkali akan terdapat “perundingan”
kembali, pembahasan lagi mengenai “jejak
cincin pertunangan di sela jari”. Kata-kata jejak cincin pertunangan di sela jari tentu bermakna hubungan yang
pernah terjalin dan kegagalan yang sudah terjadi.
Bila dibuat gambar
utuh, puisi ini bercerita mengenai seorang wanita dan pria yang telah lama
berpisah dan di hari tuanya sang pria datang kembali. Tidak dijelaskan mengapa
mereka berpisah, tetapi ada nada tak suka atau benci yang bisa dirasakan “aku”
pada “kau”.
Namun, sebenarnya
aku juga memikirkan kemungkinan lain. Saya tidak tahu apakah fakta ini penting, tetapi
penulis puisi merupakan kelahiran Sungai Naniang, Sumatera Barat. Sebagai orang
Padang, saya sedikit mengetahui bahwa ada hubungan yang terjalin karena adanya
perjodohan. Perjodohan tersebut biasanya dirundingkan oleh orang yang dihormati
dalam keluarga sebagai perwakilan.
Saya berpikir,
mungkin tidak ya, jika larik di bait pertama, “jejak pertemuan kita melekat pada kerut sebuah bibir tua / di celahnya,
gusi tumpul sudah lama tak bergigi / juga lidah yang telah menggetarkan tak
berhingga kata-kata” sebenarnya dimaksudkan untuk para tetua tersebut dan
bukannya “aku”? Karena orang yang dihormati tersebut bisa saja berusia sudah
lanjut, tidak lagi bergigi, dan tentunya sudah banyak kata atau kalimat yang
diucapkan. Jika demikian, “aku” dan “kau” bisa jadi tidaklah setua seperti yang
sebelumnya disampaikan dan hubungan itu barangkali belum lama berakhir.
Meski begitu,
gambaran bahwa hubungan tersebut berakhir pada suatu masa dan salah satu pihak
datang kembali—walau entah dengan tujuan apa—dalam puisi menurut saya masih
sesuai. Begitu pun dengan ketidaksukaan “aku” saat “kau” hadir lagi. Gambaran
tersebut dapat terlihat dalam larik-larik serta judul puisi.
Selain itu, jika ini sebuah perjodohan, larik “atau sebagai bujang latah yang datang
menawarkan perundingan; / pergunjingan tentang jejak cincin pertunangan di sela
jari” bisa bermakna lebih. Perundingan tersebut dapat bermakna bahwa “kau”
datang di hari raya untuk mengajukan kembali lamaran kepada “aku”.
Nah, begitu saja dari saya, barangkali tidak seratus
persen tepat, semoga penulis puisi ini juga berkenan dan tidak marah atau
tersinggung dengan pembahasan yang dibuat (hhe). Selain itu, mari merayakan bahwa kita telah
berpuisi hari ini! Selamat berpuisi! (Z)
*Zelfeni Wimra lahir di Sungai
Naniang, Lima Puluh Koto, Minangkabau, Sumatera Barat. Peneliti di Kelompok
Kajian Magistra Indonesia, Padang. Buku puisinya: Air Tulang Ibu (Pusakata Publishing, 2012).
Foto: Photo by Shelby Deeter on Unsplash
2 komentar
D e r a s seperti air
BalasHapusTerima kasih sudah membaca!
Hapus