Judul: Na Willa
(Serial Catatan Kemarin)
Penulis: Reda Gaudiamo
Penerbit: Terbitan Aikon
Ilustrasi: Cecillia Hidayat
Membaca buku dengan
tokoh utama anak-anak, terkadang membawa kita kembali mengenang masa-masa
sewaktu kecil dulu, bukan? Seperti buku ini yang berjudul Na Willa (Serial
Catatan Kemarin) yang berkisah mengenai kehidupan seorang anak bernama Na Willa dan berusia sekitar lima tahun. Kisah dalam buku ini hampir keseluruhan bercerita mengenai dirinya, petualangan,
dan masalah-masalahnya.
Masalah apa?
Masalah yang akan dihadapi seorang anak kecil tentunya, masalah yang terkadang bagi kita, pembaca terasa
menggelikan. Seperti bagaimana Willa, sapaan akrabnya, membongkar radio di
rumah karena rasa ingin tahunya untuk melihat penyanyi dan “lelaki yang omong-omong”
di dalamnya. Ibunya, yang dipanggil Mak, marah dan dia pun dihukum, tapi
peristiwa tersebut justru terasa lucu saat dibaca.
Masih banyak
peristiwa lainnya yang terasa sangat anak-anak dengan segala imajinasi dan
karakternya. Willa ini merupakan anak
dari ibu Jawa dan bapak keturunan Cina. Hal ini membawa masalah (karena ada
temannya yang suka mengejek) dan juga pertanyaan bagi dia mengenai identitasnya
sendiri. Pertanyaan ini dijawab jenaka oleh Ida, temannya.
“Kamu bukan Cino! Kamu ireng. Matamu tidak sipit, tidak begini…” lalu dia menarik ujung matanya.….“Tapi, bapakku Cino!” kataku lagi.“Mak mu bukan Cino,” kata Ida, “Jadi kamu bukan Cino.” (hal. 37)
Kisah lain juga tak
kalah menarik, meski hanya bercerita ringan seputar kehidupan Willa. Cerita
tersebut, seperti rumah, keinginan untuk menjadi seperti ibunya, teman-temannya,
sekolah, dan hobinya membaca. Dari kisah tersebut, pembaca mendapat gambaran mengenai
kehidupan sehari-hari Willa, karakter teman-temannya, serta keadaan keluarganya.
Salah satu cerita
yang menyentuh hatiku ialah
saat Willa bertanya pada Mak mengapa Pak tidak pernah berangkat pagi dan pulang sore. Bapak Willa
seorang pelaut dan seringkali tidak pulang untuk waktu yang lama. Pernah satu
kali, bapaknya tidak pulang lama sekali dan saat ia kembali Willa tidak mengenali Pak-nya.
Dia bertanya, “Om cari siapa?” Sementara Pak menangis mendengarnya.
Secara keseluruhan,
Willa merupakan anak dengan karakter yang menyenangkan, karakternya membuat pembaca bisa
menyukainya dengan mudah. Aku suka bahwa dia memiliki karakter yang berani, jujur, pintar, dan terasa sangat
anak-anak. Dia juga teman yang baik. Kepolosannya juga terasa sangat menyegarkan untuk diikuti
karena bisa menimbulkan tawa.
Dalam beberapa
kisah, dia mungkin terlihat seperti anak yang keras kepala dan nakal, tapi bila
dilihat keseluruhan konteksnya, menurutku dia anak yang berani dan tahu apa
yang dia inginkan walau mungkin dia terlalu kecil untuk benar-benar memahami
apa yang dia mau. Misal, ketika dia memulai sekolah dan temannya mengganggu,
Willa tidak tinggal diam. Saat Bu Guru terasa meremehkan kemampuan menulisnya,
Willa meyakinkan bahwa dia bisa. Bu Guru bilang, dia melawan, tapi Willa tidak terima. Dia tidak
merasa melakukan kesalahan apa pun dan saat akan dihukum oleh Bu Guru (Bu Guru
membawa rotan), Willa lari lalu pulang ke rumah.
Kenakalan dan
masalah yang terjadi, untungnya segera didisiplinkan oleh Mak. Apa pun yang diperbuat
Willa, selalu ada Mak yang “membenarkannya”. Mak akan mengajak Willa berbicara,
mejawab keingintahuannya, serta menghukum dia. Mak membuat karakter Willa
terasa nyata karena bukankah selalu ada ayah dan ibu kita yang memarahi saat kita berbuat masalah?
Sedikit yang kurang
aku pahami ialah masalah
bahasa yang digunakan. Karena latar tempat dalam buku ini daerah Surabaya,
sudah umum bahasa Jawa digunakan. Namun, aku bukan orang Jawa dan tidak mengerti bahasanya, hhe. Karena itu,
saat buku ini menggunakan dialog dengan bahasa tersebut, aku tidak dapat mengartikannya.
Umumnya, bahasa
atau istilah asing (yang bukan
bahasa Indonesia) akan diberi catatan kaki, bukan? Nah, di
buku ini tidak ada. Aku mencari, siapa tahu ada tanda bintang dan di bagian bawah ada penjelasan, tapi
tidak ada. Untungnya, dialog dengan bahasa
Jawa tidak banyak, hanya satu-dua, sehingga tidak memengaruhi kenyamanan.
Bayangkan, jika separuh dialognya bahasa Jawa, tapi tidak diterjemahkan ke bahasa
Indonesia, aku pasti nyerah, hhe.
Satu lagi, kisah
Willa ini ternyata berlatar tahun 1960-an,
aku tahu dari pengantar di awal buku. Meski tidak
disebutkan secara eksplisit dalam cerita, beberapa kisah seolah memberi tanda, seperti penyanyi Lilis
Suryani dan minuman orange crush.
Namun, karena aku juga tidak hidup di zaman itu, aku mungkin hanya akan beranggapan Willa
hidup di zaman dulu yang entah tahun berapa, hhe.
Terakhir, ini buku indie, lho. Definisi indie sendiri
barangkali tidak berbeda dengan yang digunakan di bidang lain, seperti musik. Meski
begitu, dari segi cerita, aku tidak merasa ada perbedaan antara buku indie dan penerbit terkenal. Ceritanya tetap menarik dan mengesankan untuk
dibaca. Ada pula ilustrasi cantik
yang melengkapi di setiap bagian cerita. Secara fiisk sama, yang tampak berbeda barangkali, aku tidak menemukan halaman hak cipta di
bagian awal buku.
Jadi, sesiapa yang tertarik, selamat membaca! (Z)
Foto: femina
0 komentar