Kicauan: Serbuan Rasa dalam The Giver

By Zeezee - November 16, 2014


http://www.pagetopremiere.com/category/the-giver/page/2/
 
Ada sesuatu yang membuat hidup kita indah. Sesuatu yang membuat hidup kita lebih bermakna. Sesuatu yang ditekan, disembunyikan, bahkan dihilangkan dalam cerita film ini: emosi. Emosi lebih dari sekadar perasaan senang atau marah, emosi yang dimaksud dalam film ini memiliki sesuatu yang lebih kuat dan dapat menghadirkan bentuk perasaan yang lebih kuat lagi, yaitu cinta.

Film ini secara keseluruhan tidak bicara tentang cinta, tapi rasa, emosi, dengan berbagai ragamnya yang berusaha ditiadakan. Berlatar di masa depan, sebuah sistem baru
dibangun yang mengharuskan tiap warganya mendapatkan injeksi setiap hari. Injeksi ini akan menghilangkan kemampuan seseorang untuk memiliki emosi layaknya seorang manusia. Semua orang hidup dengan cara yang sama, seolah tak pernah ada masalah.

Dalam film itu, ditunjukkan tidak ada cinta ataupun keluarga yang dibangun atas dasar cinta. Bisa dibilang, mereka pun tak lagi mengenali kata cinta atau sayang. Bahasa itu dianggap telah punah. Tiap anak dilahirkan oleh perempuan yang memang diberi tugas untuk melahirkan. Jadi, bisa dibilang keluarga yang terbentuk dalam kisah ini tidak memiliki pertalian darah. 

Pemeran Jonas oleh Brenton Thwaites. Sumber: http://www.usmagazine.com/entertainment/news/taylor-swift-giver-movie-poster-see-her-brunette-hair-makeunder-2014235
Saat usia mereka beranjak remaja, akan ditentukan tugas atau pekerjaan mereka di masa depan. Salah satunya adalah Ibu Melahirkan yang bertugas melahirkan generasi penerus. Di antara semua pekerjaan, ada satu tugas yang sangat menarik, yaitu The Receiver. Receiver, Jonas, nantinya akan menerima memori mengenai masa lalu manusia, peradabaan, peperangan, bahkan memori terhadap berbagai emosi yang telah punah.

Sang The Giver oleh Jeff Bridges. Sumber: http://www.impawards.com/2014/giver_xlg.html
Pemberi memori ini disebut The Giver. Dari sinilah, konflik dimulai. Jonas akan menerima serbuan segala macam memori. Dia akan menyadari bahwa kehidupan yang kini ia jalani benar-benar jauh berbeda dengan masa lalu. Tidak ada ketulusan cinta, cemburu, kagum, musik atau perasaan takut. Dia merasa bayangan hidup di masa lalu jauh lebih menarik dan indah. Jonas pun mulai berani untuk tidak melakukan injeksi (alat untuk injeksi ini ada di tiap rumah). Dia pun mengakalinya dengan menggunakan apel dan menempelkan darahnya di apel tersebut.

Awalnya, ia merasa sangat bahagia menerima segala macam memori dan berbagai emosi yang terdapat di dalamnya. Namun, saat ia diberi memori terhadap rasa takut—dengan diperlihatkan sebuah perang dan banyak tentara yang tewas—dia memutuskan untuk berhenti menjadi Receiver. Dia tak sanggup menanggung perasaan bersalah dan takut terhadap tewasnya berbagai tentara yang dilihatnya.

Namun, suatu peristiwa memaksanya harus mengambil keputusan yang lebih hebat lagi. Dibantu oleh sang The Giver, Jonas berniat untuk pergi ke suatu tempat, batas dari terjaganya memori dan segala macam rasa. Jonas harus menemukan tempat itu dan mengembalikan segala memori dan emosi kepada semua orang.

Buatku, film ini meninggalkan pesan yang sangat kuat. Aku belum membaca bukunya dan karena itu kurasa pemahamanku mengenai film ini sangat sedikit. Film yang diangkat dari buku, biasanya memiliki banyak hal yang tak bisa disampaikan, yang akan membuat kita, penontonnya, lebih memahami isi cerita, karakter, dan konflik. Karena itu, aku tidak akan bicara mengenai isi cerita secara keseluruhan ataupun kualitas akting pemainnya. Namun, mengenai rasa dan pesan yang kuterima saat menonton film ini. Karena setelah menonton film ini, tiba-tiba aku jadi membayangkan semua emosi yang pernah kurasakan.

Satu hal yang kusyukuri setelah menonton film ini adalah bahwa cerita tersebut hanya ada dalam buku dan film. Aku juga berharap kisah itu tak akan pernah terjadi di dunia nyata. Bayangkan, kita hidup tanpa bisa mencintai, merasakan ketulusan, kegaguman, kehangatan cinta seorang ibu, perlindungan seorang ayah, rindu, dan segala macam rasa yang kini bisa kita rasakan.

Seandainya, dalam hidup ini hanya ada lahir, bekerja, bekeluarga, dan meninggal tanpa pernah merasakan cinta yang seharusnya mendasari setiap hubungan. Semua hubungan terasa hampa dan kosong, bahkan kehampaan dan kekosongan itu pun tak lagi bisa kita sadari. Seperti, sesuatu yang paling dasar dalam hubungan manusia telah direnggut. Sesuatu yang seharusnya dapat memanusiakan, sesuatu yang ada di hatimu, tapi tak kausadari.

Bagaimana rasanya jika kita semua dipaksakan untuk sama dalam merasa dan berpikir? Tidak ada kejutan, ledakan, atau semburan ide, emosi, dan ekspresi, yang luar biasa lagi dari manusia. Manusia seolah tak berkembang dan hidup dengan cara yang sama untuk sekian lamanya waktu. Akan seperti apa rasanya?

Karena itu, setelah menonton film ini, aku mensyukuri perbedaan dan kebebasan yang kita miliki sekarang. Bersyukur dengan macam emosi dan rasa yang mendasari sebuah hubungan. Bersyukur bahwa besok matahari masih terbit dan kita bisa melihat sinarnya, merasakan kehangatannya, dan mengaguminya. Bersyukur bahwa kita bisa membagi kekaguman itu dengan orang-orang terdekat yang menyayangi kita dengan tulus.

Saat terbangun karena mimpi buruk, ada ibu yang dengan hanya hadirnya dapat mengembalikan keberanian. Saat terpuruk dan putus asa karena diri sendiri, setidaknya kita tahu ada ibu dan keluarga yang tak akan memalingkan wajahnya. Mereka akan tetap bersama kita, membantu melewati hari yang buruk. Bicara dan mengatakan bahwa semua akan kembali baik, tak mengabaikan dan tersenyum. Setidaknya, mereka akan ada di samping kita.

Aku tahu mungkin akan menyenangkan hidup tanpa masalah, tapi jenis hidup ada apa yang dijalani tanpa masalah? Hidup kita berakhir saat tak ada lagi masalah. Masalah-masalah ini akan membuat kita berkembang. Merasakan gelap dan mengerikannya jurang putus asa lalu membawa kita perlahan ke dunia indah yang layak untuk disyukuri.

Walaupun mungkin, bukan ini pesan utama yang ingin disampaikan oleh cerita dalam film ini. Namun, “kesamaan”, tidak ada emosi, ketulusan, dan hampanya perasaan yang kulihat dalam film ini, membuatku menyadari bahwa hidup dengan semua dinamikanya jauh lebih baik dan indah. Film ini juga membuat kita lebih menghargai kehidupan yang kini dimiliki dengan segala macam masalahnya. Bersyukurlah karena kita hidup hari ini dengan segala emosi yang ada. (Z)



Sampul buku The Giver yang diterbitkan oleh Penerbit Gramedia. Sekarang, sampul buku sudah berubah seperti poster filmnya. Ditulis oleh Lois Lowry yang berlatar pada masa utopia, tetapi saat cerita bergulir justru menunjukkan sisi distopia. Sumber: http://www.pinterest.com/anitiger/k%C3%B6nyv-giver-series/

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar