Resensi Buku: Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang oleh Luis Sepúlveda
Judul: Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang
Penulis: Luis Sepúlveda
Penerbit: Marjin Kiri
Penerjemah: Ronny Agustinus
Tebal: vi+90 hal.
Harga: Rp64.000
Terbit: 2020
Kalian baca judul buku ini, lalu baca lagi. Seekor burung camar dan seekor kucing yang mengajarinya terbang. Bagaimana bisa seekor kucing mengajari burung camar terbang? Apakah ada yang salah?
Tidak ada, justru hal itulah yang membuatku tertarik untuk membaca buku ini. Ini adalah buku kedua Luis Sepúlveda yang kumiliki. Sebelumnya, ada Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta. Karena aku suka buku Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta, ketika menemukan buku lain dari Luis Sepúlveda, aku langsung terpikir untuk membelinya.
Apalagi dengan judul buku yang unik, aku sudah penasaran cerita hebat apalagi yang ditulis olehnya. Seperti buku sebelumnya yang kubaca, buku Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang juga tidak tebal, bahkan lebih tipis jika dibandingkan dengan buku Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta.
Selain itu, aku selalu suka judul buku Luis Sepúlveda. Memang agak panjang, tapi selalu memberi kesan yang tidak biasa dan berbeda dengan buku kebanyakan. Selain sama-sama tipis, kedua buku ini juga mengangkat isu yang mirip, yakni lingkungan.
Keserakahan dan tindakan tidak bertanggung jawab yang dilakukan manusia, tidak hanya merusak bumi dan alam, tapi juga menyakiti makhluk hidup lainnya. Salah satunya adalah burung camar. Dalam kisah di buku ini, Kengah, seekor burung camar betina yang tengah hamil, terkena tumpahan minyak bumi ketika sedang menyantap makanannya di laut.
Tumpahan minyak bumi yang mematikan ini menyumbat pori-pori, membuat sesak, merekatkan bulu-bulunya dan membuat dia sulit terbang. Belum lagi, Kengah ada di tengah lautan dengan kondisi tubuh yang sulit bergerak, membuat dia menjadi sasaran empuk ikan-ikan besar.
Namun, sebelum minyak tersebut merekatkan sayap-sayap ke tubuhnya, dengan sisa tenaga Kengah berusaha untuk lepas darinya dan dia berhasil. Karena kondisi tubuh yang memburuk, dia tidak bisa terbang jauh lalu mendarat di sebuah balkon tempat Zorbas berada.
Zorbas adalah seekor kucing hitam gemuk besar. Betul, begitulah kucing ini selalu dideskripsikan dalam buku. Kengah yang sudah tahu nyawanya tidak lama lagi, meminta Zorbas bersumpah tiga hal, yakni dia tidak akan memakan telurnya, menjaga telur hingga si piyik lahir, dan mengajari si piyik terbang.
Zorbas berjanji akan memenuhi semua permintaan Kengah dan dimulailah perjuangannya untuk menepati janji tersebut. Zorbas tidak sendiri tentu saja. Karena dia seekor kucing dan tidak tahu apa-apa tentang burung, dia meminta bantuan pada kucing lain di area tersebut. Bersama-sama, mereka berusaha untuk melaksanakan sumpah yang dibuat.
Kita akan melihat usaha kucing-kucing ini dalam memenuhi setiap janji, dari mulai menjaga telur hingga mengajarinya terbang. Kucing tidak terbang, tapi Zorbas harus mengajari anak burung camar ini terbang, bagaimana caranya?
“Ya, di tepian kehampaan ia memahami hal yang paling penting dari semuanya,” kata Zorbas.
….
“Bahwa hanya mereka yang berani terbang yang bisa terbang.”
Dialog di atas adalah kata-kata yang paling berkesan dalam buku ini untukku. Seolah mengingatkan tentang kehidupan kita sendiri. Siapa pun memiliki ketakutan, tapi hanya mereka yang berani menghadapinyalah yang akan berhasil.
Ketika membaca dialog di atas, aku merasa perjalanan membaca buku ini terasa menjadi lebih bermakna. Sebuah kalimat pamungkas yang sangat tepat untuk cerita di dalam buku sekaligus kalimat yang bisa menyentuh hati para pembaca.
Secara keseluruhan, aku suka buku ini dan cerita di dalamnya. Sampul buku bagus dan tatak letak buku rapi. Aku juga suka bagian-bagian lucu yang terselip dalam dialog-dialog dan narasi antara karakter, membuat buku ini semakin menyenangkan dibaca. Aku sempat berpikir proses mengajari terbang akan sedikit lebih lama, tapi ternyata tidak demikian. Meski begitu, akhir cerita yang diberikan tetap berkesan.
Ketika tiba di bagian akhir aku tetap sedih karena cerita ini berakhir. Akhir dari kisah ini membuatku ingin tahu bagaimana kisah mereka selanjutnya, bagaimana pertemuan-pertemuan mereka berikutnya. Aku bisa membayangkan bagaimana reaksi para kucing setelah bagian akhir di buku.
Menariknya, buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1996, 29 tahun yang lalu dan cerita ini masih sangat relevan dibaca di masa sekarang. Aku rasa di masa depan pun, buku ini akan tetap bisa dinikmati dan kita mungkin tidak akan menyadari bahwa buku ini sudah terbit lama sekali.
Hal yang disedihkan juga ketika membuka buku ini adalah kita tahu bahwa Luis Sepúlveda sudah berpulang. Ditulis di bagian profil penulis, dia meninggal dunia pada 16 April 2020 akibat COVID-19. Karya-karyanya akan abadi dan akan menjadi jejak peninggalannya yang berharga. Semoga juga kita bisa membaca lebih banyak karya Luis Sepúlveda di masa yang akan datang.
Meski sedih kisah sudah berakhir dan membaca kabar meninggalnya Luis Sepúlveda, Zorbas dan kucing lainnya adalah hiburan yang tak terlupakan. Kisah mereka akan aku ingat dengan hati yang bahagia.
Aku akan senang untuk membaca ulang kisah mereka suatu hari nanti. Buku ini akan menjadi koleksi penting bersama buku-bukuku yang lain dan aku tidak ragu merekomendasikannya kepada semua orang.
Aku harap kamu yang membaca buku ini juga menyukainya sebagaimana aku menyukai buku ini dan kita bisa bercerita lebih banyak tentang Zorbas dan teman-temannya! (Z)
foto: marjinkiri
0 komentar