Resensi Buku: Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 oleh Cho Nam Joo

By Zeezee - April 11, 2024



Judul: Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982

Penulis: Cho Nam Joo

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tebal: 192 halaman

Harga: Rp69.000

Terbit: 2019



Aku pertama kali tahu dan dengar tentang Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 saat versi filmnya ditayangkan. Katanya, film tersebut diangkat dari sebuah buku dengan judul yang sama. Lebih-lebih ini buku yang cukup menarik perhatian masyarakat di sana.

Namun, aku tidak terlalu tertarik menonton filmnya. Hanya ketika baru-baru ini ke toko buku dan membaca blurb buku tersebut membuatku mengerti semua kehebohan yang ada. Blurb buku ini seperti menamparku dengan realita menyakitkan yang mungkin terjadi di antara kita.


Aku terkejut, aku tidak menyangka kisah Kim Ji-yeong seperti ini. Dunia seolah tidak pernah memihak dia dan tidak ada kebahagiaan dalam hidupnya. Setelah membaca kisahnya, aku paham bahwa apa yang ditulis di bagian belakang sampul buku adalah bagian-bagian penting dalam hidup Ji-yeong.


Jika blurb-nya saja sudah sangat mengentak, bagaimana dengan isinya?


Seperti yang sudah banyak didengar, Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 berbicara tentang menjadi wanita dalam masyarakat dengan budaya patriarki yang masih begitu kuat. Melalui buku ini, kita akan bisa melihat sedikit banyak bagaimana budaya patriarki di Korea Selatan dan apa yang harus dihadapi para wanita di sana.


Kim Ji-yeong adalah seorang perempuan biasa dengan keluarga yang juga biasa-biasa saja. Cerita dimulai dengan narasi karakter Kim Ji-yeong dan keanehan yang terjadi padanya. Langsung pada inti permasalahan.


Keanehan apa yang terjadi? Ji-yeong mulai berubah menjadi orang lain, siapa pun; temannya yang sudah meninggal atau orang yang masih hidup. Jeong Dae-hyeon, suaminya, menyarankan Ji-yeong untuk pergi menemui psikiater.


Bab-bab berikutnya merupakan sesi konsultasi yang kita baca dalam bentuk narasi. Kita akan membaca kisah hidup Ji-yeong dari kecil, bahkan juga kisah orang tuanya. Apa yang dia alami dan pikirkan.


Kita akan tahu bahwa Ji-yeong lahir dalam keluarga yang menginginkan anak laki-laki. Kakak pertamanya, Eun-yeong, adalah perempuan dan ibunya meminta maaf pada mertuanya karena melahirkan Ji-yeong yang juga anak perempuan.


Perbedaan perlakuan antara dirinya dan Eun-yeong dengan adik laki-lakinya juga terasa sangat menyesakkan. Neneknya melarang Ji-yeong dan Eun-yeong menggunakan atau mengambil barang apa pun yang menjadi milik adik laki-laki mereka.


Adik laki-laki mereka selalu mendapat barang-barang yang bagus, dia juga tidak pernah harus bekerja membersihkan rumah. Bagian yang jelek dan sulit selalu menjadi milik Ji-yeong dan Eun-yeong.


Orang tuanya tentu sayang pada mereka, tapi tidak menghentikan kebiasaan dan perlakuan yang umum ada. Dalam lingkup yang lebih luas, seperti di sekolah, mulai dari Ji-yeong sekolah dasar hingga kuliah, di tempat kerja, dan hingga setelah dia menikah, kita akan melihat contoh lain bagaimana laki-laki selalu diutamakan.


Apa yang Ji-yeong lakukan? Dia tidak setuju, dia melawan, tapi dalam pikirannya. Ji-yeong hampir tidak pernah menyuarakan penolakannya. Saat Ji-yeong mulai sakit, anehnya dia justru menjadi lebih berani. Seolah-olah, dia tidak bisa menyampaikan isi hatinya jika menjadi dirinya sendiri karena itu dia harus menjadi “orang lain” untuk menyampaikan pendapat dan keluh kesahnya.


Namun, apakah semua wanita dalam buku ini hanya diam? Jawabannya tidak.


Kita akan melihat bahwa ada teman perempuannya yang marah, protes, bertindak walau hasilnya sering kali tidak memihak mereka. Secara tidak langsung mereka pun bersuara untuk Kim Ji-yeong dan perempuan lainnya. 


Ibu Ji-yeong sendiri menurutku adalah wanita yang tangguh. Walau keadaan tidak memihak dia, Ibu Ji-yeong tidak pernah berhenti berjuang untuk anak-anaknya, keluarganya, dan berdiri di hadapan suaminya menyatakan pendapatnya. 


Resensi ini tidak akan cukup untuk menunjukkan bagaimana tidak menguntungkannya posisi perempuan. Ada lebih banyak cerita, catatan kaki, dan peristiwa dalam buku ini yang membuat kita tidak percaya bahwa ada kejadian seperti itu.


Semua catatan kaki yang disertakan oleh penulis mengingatkan kita ini bukan hanya kisah fiksi. Peristiwa yang kita baca di buku benar-benar terjadi dan barangkali masih ada hingga saat ini.


Meski Ji-yeong adalah karakter karangan, kisah Kim Ji-yeong sendiri banyak terjadi di dunia nyata. Dengan nama dan latar berbeda, banyak perempuan bernasib sama dengannya. Tidak hanya di Korea Selatan, tapi mungkin di negara lain, mungkin pula di negara kita sendiri.


Menariknya, karakter laki-laki dalam buku ini memiliki kepribadian cukup baik. Ayah Ji-yeong dan suaminya, Dae-hyeon laki-laki yang setia, pekerja keras, dan penyayang. Hanya saja, dalam situasi tertentu mereka tidak bisa membantu banyak, mereka hanya diam. Bisa dibilang, bahkan laki-laki saja tidak kuasa melawan budaya dan kebiasaan yang sudah mengakar kuat ini. 


Hingga akhir, pandangan dokter yang merawat Ji-yeong mengenai rekan kerjanya yang harus mengundurkan diri saat hamil sangat mengecewakan. Seolah penulis ingin mengatakan perempuan tidak bisa lari dari anggapan umum yang sudah diyakini sejak lama.


Akhir kisah Kim Ji-yeong sebenarnya terasa menggantung. Kita tidak tahu apakah Ji-yeong bisa sembuh dan kembali menjadi dirinya yang dulu. Kita hanya tahu bahwa dia masih dalam pengobatan dokter.


Akhir cerita seperti ini memberiku kesan bahwa butuh waktu panjang untuk Ji-yeong kembali menjadi dirinya seutuhnya. Juga, bahwa barangkali tidak pernah ada akhir untuk kisah seperti Kim Ji-yeong selama ketidakadilan dan ketimpangan masih terus terjadi antara perempuan dan laki-laki.


Keseluruhan cerita dalam buku ini membuat kita bercermin pada lingkungan kita sendiri. Membuat kita mempertanyakan banyak hal. Bagaimana perempuan dalam masyarakat kita diperlakukan, bagaimana seharusnya orang tua pada anak-anak mereka, sudahkah kita memberi hak yang sama, baik pada lelaki, ataupun perempuan.


Pada akhirnya, buku ini membuka pandanganku tentang perempuan secara lebih luas. Apa yang sebelumnya sudah diketahui, kini semakin dipahami. Yang sebelumnya hanya pengetahuan samar, tapi sekarang bisa sedikit lebih jelas.


Dengan isi dan pesan yang berusaha disampaikan oleh penulis, buku Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 merupakan bacaan yang perlu dibaca bukan hanya perempuan, melainkan juga laki-laki.


Aku yakin akan banyak emosi yang berkecamuk saat kalian membacanya. Mungkin bisa kesal, marah, sedih, kecewa, atau campuran dari semuanya. Buku ini pun bisa dibaca cepat karena tidak terlalu tebal. 


Alur yang lurus-lurus saja dengan gaya penulisan yang lugas membuat cerita ini bisa semakin cepat diselesaikan. Aku juga suka terjemahan buku ini yang menurutku bagus dan rapi. 


Sekali lagi, dalam buku terjemahan bagaimana buku dialihbahasakan sangat penting untuk buku tersebut bisa dinikmati dengan mudah. Untuk buku Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982, kita tidak perlu khawatir tentang hal tersebut. 


Aku juga suka bagaimana lembaran-lembaran buku jatuh dengan ringan, tidak kaku,  (aku tidak tahu apa ada penyebutan yang lebih tepat hha) membuat buku lebih mudah dibaca. 


Akhirnya, aku bisa bilang kalian tidak akan kecewa membaca buku ini. Setelah ulasan yang cukup panjang (terpanjang yang pernah kubuat sepertinya), aku bisa menutup pembahasan dan bilang aku tidak menyesal sudah membeli buku ini.


Cerita, tebal buku, dan terjemahan, semuanya mendukung kamu untuk membacanya dengan cepat dan mudah dibawa ke mana-mana. Sampai aku menulis resensi berikutnya, selamat membaca dan bersiap dengan ledakan emosi yang akan kalian rasakan saat membaca buku ini!



foto: gramedia

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar