Resensi Buku Ketika Aku Tak Tahu Apa yang Aku Inginkan: Kalimat-Kalimat Penuh Kehangatan untuk Jiwa yang Lelah dari Jeon Seunghwan
Judul: Ketika Aku Tak Tahu Apa yang Aku Inginkan - Kalimat-Kalimat Kehidupan yang Mengembalikan Diriku yang Hilang
Penulis: Jeon Seunghwan
Penerbit: Gramedia
Alih Bahasa: Gitta Ananda Lestari
Tebal: xii + 268
Harga: 86.000
Terbit: 2021
Pertama-tama, ini adalah buku self improvement pertama yang berhasil kuselesaikan. Sebelumnya, untuk kategori buku nonfiksi aku hanya pernah membaca buku tips dan keagamaan. Banyak juga di antaranya yang belum selesai dibaca.
Orang yang senang membaca buku nonfiksi barangkali akan mengerenyutkan dahi mengetahui ada orang yang baru sekali menyelesaikan buku self improvement. Namun, bagi orang yang hanya membaca fiksi, aku rasa mereka bisa sedikit mengerti.
Selama ini kategori buku yang paling banyak kubaca adalah fiksi, puisi, atau komik. Aku mulai tertarik membaca buku nonfiksi ketika aku merasa butuh wawasan atau ilmu baru setelah sudah lama lulus kuliah dan tidak berurusan lagi dengan buku-buku sekolah.
Jadilah aku membeli buku nonfiksi ini dan itu. Sayangnya, di antara banyaknya tumpukan buku yang belum dibaca, aku baru bisa menyelesaikan satu buku ini; Ketika Aku Tak Tahu Apa yang Aku Inginkan dari Jeon Seunghwan.
Apa yang membuat aku tertarik dengan buku ini? Jawabannya adalah judul buku ini. Bukankah kita setidaknya pernah merasa seperti apa yang disebutkan judul buku ini? Merasa bingung, lelah, dan tidak tahu pasti apa yang sebenarnya diinginkan.
Judul buku ini seolah menggambarkan keadaan yang pernah kualami dan aku ingin tahu jawaban apa yang disediakan oleh penulis. Bisa dibilang, aku berharap menemukan cara untuk mengatasi situasi seperti ini. Selain itu, buku-buku self improvement dari Korea Selatan sangat banyak. Jadi, setidaknya aku ingin membaca salah satunya.
Dibandingkan dengan buku nonfiksi lain yang pernah kubaca, buku ini cukup tebal. Namun, aku rasa kalian akan bisa tetap membacanya dengan cepat karena terjemahannya sangat baik dan tidak membuat bingung.
Secara singkat, buku ini membahas masalah yang sangat umum terjadi, tapi barangkali sedikit sekali kita bicarakan dengan orang-orang terdekat. Kesedihan, kecemasan, luka batin, kesepian, cinta, impian, penyesalan, masalah hubungan, adalah beberapa contoh topik yang diangkat. Melalui pemaparan penulis terhadap topik-topik tersebut, kita akan membaca sebuah buku yang bisa menyejukkan hati.
Buku ini diawali dengan pendahuluan, lalu dibagi menjadi empat bagian, dan diakhiri dengan penutup. Empat bagian tersebut adalah “Bagian 1: Seperti Orang yang Menanyakan Kabar (Mengenal Perasaan Kita)”, “Bagian 2: Ketika Kata Semangat Tak Bisa Menjadi Penyemangat (Mengenal Waktu Kita)”, “Bagian 3: Orang yang Ingin Kita Dekati, Orang yang Ingin Kita Jauhi (Mengenal Hubungan-Hubungan Kita)”, “Bagian 4: Hidup Tenang dengan Menjadi Diri Kita Sendiri (Mengenal Dunia Kita)”.
Pendahuluan buku ini dimulai dengan pertanyaan, “Apa yang benar-benar aku inginkan? Apakah aku sudah hidup dengan benar?.... Mengapa hatiku selalu merasa sepi dan hampa?”
Saat membacanya, aku menyadari ini adalah pertanyaan yang mungkin sudah puluhan kali kita tanyakan pada diri sendiri. Lalu di bagian ini, “Ketika berusaha menyesuaikan diri dengan kecepatan jalannya kehidupan, hati kita juga akan menjadi lelah.” Aku setuju dan tiba-tiba terbayang bagaimana lelahnya diri sendiri.
Pendahuluan buku ini dimulai dengan masalah yang dekat di hati, membuatku semakin tertarik untuk membaca bagian berikutnya. Melalui bagian pendahuluan ini juga, penulis menyampaikan bagaimana kalimat-kalimat dari buku bisa menjadi sumber ketenangan bagi orang yang membacanya.
Apa maksudnya? Salah satu yang menarik dari buku ini adalah penulis mencantumkan banyak potongan kalimat, puisi, esai dari berbagai penulis dan tokoh terkenal lainnya yang menggambarkan atau menjelaskan dengan baik topik yang sedang dibicarakan. Seperti kutipan dari novel Magical Moment karya Paulo Coelho berikut ini.
“Jangan pernah membiarkan diri dibebani standar penilaian kita sendiri. Setiap kali melakukannya, hanya luka yang akan kita dapat.” (hal. 26)
Ada juga kalimat yang diambil dari esai Waktunya Berhenti Menangis yang ditulis oleh Lee Aegyeong.
“Apakah selalu ada tujuan ketika berjalan?
Menjalani hidup seperti berjalan kaki tanpa tujuan pun adalah hal baik.” (hal.80)
Jadi, kita akan melihat banyak tulisan dari penulis yang mungkin belum pernah kita ketahui karya ataupun sosoknya. Selain itu, tampaknya ada juga tulisan dari penulis sendiri (Jeon Seunghwan) yang pernah dia unggah di media sosial miliknya.
Apa sudah terbayang seperti apa bukunya? Penulis membagikan pengalaman dan pemikirannya yang mungkin bisa membantu kita (para pembaca) dalam menghadapi berbagai masalah dalam hidup dan dilengkapi dengan berbagai kalimat indah lain.
Aku sendiri menyukai isi buku ini. Jika disimpulkan secara keseluruhan, buku ini berisi kata-kata yang menghangatkan hati, memberi motivasi, dan kata-kata penyemangat yang mungkin kita butuhkan di tengah hiruk pikuk rutinitas kehidupan.
Ada momen ketika membaca buku ini aku bersemangat untuk mencoba berbagai hal yang tertunda dan melakukan terbaik dalam hidup. Buku ini seperti memberiku dorongan untuk mengambil langkah mewujudkan apa yang diinginkan serta nasihat bahwa tidak masalah jika gagal ataupun lebih lambat dari orang lain. Sebuah pesan yang mungkin dibutuhkan banyak orang saat ini.
Seperti kalimat-kalimat ini.
“Jangan berusaha untuk menyesuaikan diri kita dengan standar yang dibuat oleh orang lain dan fokuslah mencari takdir diri kita sendiri.” (hal. 104)
“Manusia memiliki kecepatannya masing-masing. Kita tidak perlu berusaha berlari lebih cepat atau menyamakan kecepatan kita dengan orang lain.” (hal. 110)
Aku juga suka gaya bahasa penulis yang melalui tulisannya seolah berbicara dengan lembut kepada kita (pembaca buku). Gaya bahasa penulis inilah menurutku yang menjadikan keseluruhan isi buku terasa begitu menentramkan, selain tentu isi buku itu sendiri. Ucapan terima kasih juga sepertinya perlu disampaikan kepada penerjemah yang berhasil mengalihbahasakan buku ini dengan baik.
“Kita harus jujur pada perasaan kita sendiri. Jangan membandingkan diri kita dengan orang lain dan jangan pernah menghindari masalah yang penting, jalanilah hari demi hari dengan usaha maksimal dan berbahagialah.” (hal. 98)
“Tidak apa-apa untuk berkata lelah ataupun mengeluarkan air mata ketika sedang mengalami kesulitan. Saat lelah tidak ada salahnya kita duduk sejenak dan beristirahat.” (hal. 103)
Ada kalanya kalimat yang ditulis terasa benar, tetapi membuat orang yang membacanya sedikit “tertampar”. Namun, kalimat-kalimat ini bukan untuk menghakimi, hanya sebuah pengingat atau saran.
“… ketika rasa ingin tahu mulai pudar, saat itulah masa muda telah meninggalkan kita…. Perasaan menjadi tumpul. Tidak lagi berani menantang diri untuk mencoba segala hal, melainkan menjadi lebih penuh pertimbangan dan lebih banyak pikiran.” (hal. 95)
“Kekosongan hati akibat takut kehilangan kebahagiaan akan sangat mudah diisi kecemasan. Tidak ada alasan khusus, kecemasan hanyalah bentuk rasa ketidakyakinan, seperti ketika kita berdiri di depan tembok yang tak terlihat.” (hal. 9)
“Kita terkadang suka memberikan luka pada diri sendiri…. Kita terus meremehkan diri sendiri walaupun sebenarnya kita sudah melakukan usaha yang terbaik,... Mencintai diri kita dengan cukup saja kurang, apalagi terus menyalahkan diri sendiri seperti itu.” (hal. 25)
Ada lebih banyak kalimat dan kutipan yang bagus, tapi tidak mungkin dituliskan semuanya di sini. Kalimat-kalimat tersebut tidak hanya bagus karena rangkaian katanya, tetapi juga makna dan pesannya. Kalimat tersebut bisa menenangkan hati yang gelisah dan menginspirasimu untuk melangkah maju.
Di antara banyaknya pesan yang disampaikan, aku ingat ada satu atau dua bagian yang mungkin tidak sepenuhnya aku setuju. Namun, bukan berarti hal tersebut buruk. Karena buku ini berisi pemikiran penulis, sangat mungkin jika kita sebagai pembacanya merasa ada yang sesuai dan tidak untuk diterapkan dalam hidup kita sendiri.
Apalagi ada perbedaan budaya, latar belakang, dan cara pandang hidup yang semuanya memengaruhi pengalaman serta penilaian seseorang. Apa yang menurutku tidak tepat barangkali menurut orang lain tidak demikian.
Selain itu, aku tidak menemukan masalah lain yang berarti. Kertas, jenis huruf, dan tata letak semuanya tidak ada yang perlu dikeluhkan. Secara keseluruhan, aku nyaman membaca buku ini.
Menurutku, ini tipe buku yang selalu bisa kita baca ulang kapan pun dan tetap meninggalkan kesan yang mendalam. Karena yang ditulis bukan hanya satu dua tips, melainkan pesan untuk kehidupan itu sendiri.
Seperti judulnya, semoga setelah membaca buku ini, siapa pun, bisa menemukan kembali dirinya. Semoga buku ini bisa memberikan semangat untuk terus berjalan menghadapi apa pun yang ditemui dalam hidup. Karena buatku sendiri, buku ini seperti teman yang memberi banyak nasihat baik.
Terakhir, semoga resensi ini membantu kamu yang sedang mencari rekomendasi buku self improvement. Buku ini bisa menjadi pilihan. Selamat membaca dan menyelami kata-kata penuh kehangatan.
Sampai berjumpa di resensi buku berikutnya! (Z)
foto: gramedia.com